“Hei,apa yang membuatmu
menjadi seperti ini? Apa aku salah memperhatikanmu
seperti itu? Tatsuya-san? Aku
tidak mengerti denganmu. Apa kau tidak apa-apa? Kau tadi demam sekali...”pinta gadis
itu. “Uh,kau sungguh memaksa. Aku sudah bilang, aku tidak apa-apa. Aku tidak
demam. Kau benar-benar...menyebalkan..”jawab pria yang bernama Tatsuya itu dengan
ketus. Tatsuya meremas ponselnya dengan gemas.”Sudah ya? Aku lelah.”kata Tatsuya
dingin. Gadis itu menghela nafas panjang. “Baiklah.”jawab gadis itu dengan lemas.
Ditutupnya flip ponselnya. Tatsuya terdiam.Tak seharusnya dia bilang seperti
itu kepada gadis baik hati seperti Aiko. Entah setan apa yang merasuki,
sehingga membuat Tatsuya berbicara ketus seperti itu di ponsel saat gadis itu
menelpon. Tatsuya menatap jendela kantornya yang mengembun karena salju diluar
sana. “Salju bahkan tak mampu menyembunyikan kesedihanku ini.”gumam Tatsuya
pelan. “Aku hanya tidak ingin kau tahu, jika aku semakin lemah. Penyakit ini
terlalu serius. Aku hanya tidak ingin kau kecewa denganku. Tidak. Bukan kau
yang egois, tapi aku. Aku jahat,sangat jahat.”gumam Tatsuya kembali.Matanya
menerawang jalanan di sebrang kantornya. “Aiko-cha, kau tahu? Aku sangat
menyayangimu.”-Tatsuya Fujisawa
Jepang, 20 April 2008
Jalanan tampak lenggang. Matahari
semakin turun ke tempat asalnya. Hanya ada dua anak kecil yang menggemaskan
bermain di taman bermain. Bermain pasir dengan sangat senang sesekali tertawa
lepas. “Hei, Aiko-chan. Kau tahu?Aku
sangat senang menggenggam tanganmu seperti ini.”ucap anak laki-laki itu dengan
lucu.Wajah tampan yang masih terlihat seperti anak bayi, rambut hitam legam,
perawakan yang tegap, tinggi badan yang ideal bagi anak sekecil itu, dan
ditambah raut wajahnya yang memancarkan kebijaksanaan.Tangan mungilnya perlahan
menggenggam tangan anak perempuan itu dengan erat. “Tatsuyaaa! Kau ini...
Tanganmu bekas pasir. Banyak virus di tanganku, Tatsuyaaa!”dengan lucunya, anak
perempuan yang dipanggil Aiko itu langsung membersihkan tangannya. Menepuk-nepuk
tangannya dengan pelan. Tatsuya hanya tertawa. Sesekali Aiko memukul pelan
punggung Tatsuya. “Kau jahat! Jika aku sakit karena terlalu banyak virus di
tanganku, bagaimana? Kau mau menungguiku di rumah sakit?”ujar Aiko ketus. “Hei,
anak polos. Tidak ada yang namanya virus di pasir. Yang ada bakteri. Kau ini,
sudah besar, tidak tahu yang mana virus yang mana bakteri.”kata Tatsuya
tersenyum jahil. “Tatsuyaaaa! Aku tidak polos!”kata Aiko sambil menepuk lengan
Tatsuya dengan kencang. “Aiko-chan,
sakit!”.Tatsuya meringis menahan sakit di lengannya.
“Biar saja. Kau jahat. Aku bisa membedakan yang mana virus dan yang mana
bakteri. Aku kan bercita-cita menjadi dokter. Dokter yang menolong anak-anak
sakit”.Aiko tersenyum. Tatsuya mengelus kepala Aiko yang sudah dianggapnya adik
kecilnya itu. “Kalau begitu, aku juga ingin menjadi dokter. Dokter yang
mengurusi urusan kanker. Teruskan cita-citamu, ya?”. Aiko terdiam. “Kanker? Apa
itu?”.Tatsuya mengacak-acak rambut Aiko. “Sudah kubilang, kau ini masih polos.
Kau akan tahu pada waktunya. Aku ingin melihatmu menjadi dokter di masa
depan.”. Tatsuya menggenggam tangan Aiko. Aiko mengangguk dengan mantap. “Aku
janji menjadi dokter sehingga kau bisa tersenyum bahagia melihatku”. Tatsuya
tersenyum manis. “Mm, Tatsuya-chan..... sebaiknya
kita pulang. Aku takut gelap. Bagaimana jika kita ke rumahku,aku yakin pasti
ibuku sudah menyiapkan makan malam untukku. Bisa saja kare ayam, atau sushi, atau bahkan ayam dengan bumu
pedas diatasnya”.Aiko menepuk perutnya berkali-kali tanda dia sudah lapar. Matahari semakin tenggelam.Mereka pun
pulang dengan tangan yang masih bergandengan tangan seperti anak yang tidak
ingin berpisah dengan induknya.
Jepang, 22 Desember
Perpustakaan
kota sepi sekali. Sesekali hanya satu dua orang yang berlalu lalang di sini. Terlalu
pagi. Disudut lain,ada gadis berkulit putih dengan kacamata yang bertengger di
matanya. Poninya dijepit ke atas. Gadis berambut semi panjang berwarna hitam itu
tampak serius dengan benda yang didepannya itu. Buku dengan bertuliskan
“SEJARAH KEDOKTERAN DI DUNIA” ditekuninya. Sesekali gadis itu melirik jam
seperti menunggu seseorang. “Aiko!”. Gadis yang dipanggil Aiko itu menoleh.
“Ah, Miraku-chan! Kupikir kau lupa isi
pesanku minggu lalu. Ah, kau benar-benar pemalas. Kau telat 5 menit”. Aiko
melepas kacamatanya dan menatap sinis temannya itu. Miraku Shoka, gadis anggun
yang kelakuannya mirip dengan kakak laki-lakinya yang bawel itu langsung
mengacak-acak rambut Aiko dengan kasar. “Oh, Aiko. Gomennasai, aku tadi harus mengantar adikku yang cerewet itu ke
rumah temannya. Kau tahu? Dia mendahuluiku. Dia bilang dia mau kencan.Cih,
kencan dengan tikus putih menyebalkan itu mungkin”. Miraku merapikan rambutnya
yang kusut, mungkin karena berlari mengejar waktu. Aiko hanya geleng kepala
saja. Pip. Ponsel Aiko berbunyi. Aiko
membuka flip ponselnya. Matanya menelusuri isi pesan itu. Perlahan Aiko
tersenyum.
“Ada apa?”tanya Miraku. “Kau tahu? Aku harus pergi
sekarang”. Aiko semangat merapikan buku yang dipinjamnya. Tak lupa Aiko melepas
jepitan di poninya dan menggerai rambut panjangnya itu. “Jadi? Aku sampai di
sini, menceritakan kekesalanku tentang keterlambatanku, dan kini kau akan
langsung pulang? Aku tak sampai 10 menit sampai disini. Ayolah, temani aku di
sini. Aku bosan di rumah”.pinta Miraku. Aiko beranjak dari duduknya. “Maafkan
aku, Miraku.Aku harus pergi. Ada seseorang yang harus kujemput di bandara”.Aiko
langsung memakai mantelnya dan pergi dari ruangan itu. Meninggalkan Miraku yang
kesal karena Aiko.
-------------------------------∞∞∞∞∞-------------------------------
“Dia dimana?”.Aiko mengedarkan seluruh pandangan ke arah
pintu kedatangan. Bandara cukup padat hari ini. Hal ini menyebabkan Aiko harus
berjinjit karena tinggi badannya yang tidak tumbuh lagi semenjak umurnya
mencapai 17 tahun. Aiko mengecek kembali isi pesan yang dikirim seseorang
untuknya.
“Hei, gadis polos. Aku mungkin pulang hari ini. Aku bosan di sini. Jemput
aku, aku mohon. Jam 4 di bandara. Aku tunggu.”
Aiko menghela nafas. Jam 4 lebih 15 menit. Jadi, sudah
ada 15 menit dia tak datang? pikir Aiko. Aiko langsung duduk di ruang tunggu.
Terlalu lelah berdiri di puluhan manusia. Earphone
kembali terpasang di kedua telinganya. Aiko memejamkan matanya. Aiko hampir
terlelap. Pip.Aiko tersentak. Dengan
cepat, dia membuka ponselnya dan melihat 1 pesan. “Aku mohon. Kumohon, pesan
ini dari dia”.Aiko membuka pesan itu hati-hati. Raut wajah Aiko kembali murung.
”Hei,gadis polos. Pesawatku ditunda. Aku tak tahu mendarat di sana
jamberapa.Tapi bisakah kau menungguku?”
Aiko manyun. “Bodoh. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau
kau tiba-tiba datang dan menutup mataku dari belakang, kau harus mentraktirku
ramen di kedai ramen favoritku.Oh tidak.Aku harus menjitakmu terlebih dahulu”.Aiko
mendengus kesal. “Pria menyebalkan. Bilang saja kau sedang mengerjaiku. Kau
membuatku rela meninggalkan suasana rumah yang hangat.”oceh Aiko.Tak peduli
orang mendengarkan atau tidak ocehannya, yang pasti tidak akan mengobati
kekesalannya itu.
Tiba-tiba sepasang tangan menutup matanya. Aiko kaget dan
langsung berusaha melepaskan tangan itu. Tapi,Aiko tiba-tiba berhenti
memberontak. Di pegangnya tangan itu. Halus dan hangat. “Sepertinya aku tahu
tangan ini, aku pernah merasakannya. Merasakan perasaan kecil ini.”gumam Aiko.
“Hei,gadis polos. Kau
mau menjitakku?”suara berat itu keluar dari pemilik sepasang tangan yang masih
menutup matanya. Aiko terdiam sejenak. Bibirnya tak sanggup mengucap sepatah
kata.“Ramen? Boleh saja. Asal kau yang tunjukkan jalannya padaku.”suara itu
kembali terdengar di telinga Aiko. Aiko masih diam saja. “Kau tahu?Aku sedang
tidak mengerjaimu.”tawa pemilik suara itu renyah. Aiko masih tidak bergeming.
Menerka-nerka siapa pemilik tangan itu. Sejenak, Aiko langsung menoleh.
“Kau.....?”
Sedikit ya? Hehe, cerita ini sebenernya cuma iseng gara-gara inspirasi dari penulis novel tetralogi favoritku. Yup,siapa lagi kalo bukan Ilana Tan :)
4 karya novelnya sangat keren. Aku suka novel Autumn in Paris dan Winter in Tokyo. Ceritanya mengena banget. Ending yang benar-benar hebat. Diksinya sangat selektif :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar